Tuntunan Shalat Tarawih dan Shalat Witir
Tuntunan Shalat Tarawih dan Shalat Witir - Berikut adalah Panduan Lengkap Tata cara shalat tarawih dan cara Shalat Witir di Bulan Ramadhan. Bagaimana Sholat Tarawih Sesuai Sunnah Rasulullah Tata cara solat tarawih dan Tata cara Solat Witir ini cumasatu.com persembahkan kepada pembaca semuanya agar dapat diamalkan selama bulan puasa.
Marhaban Yaa Ramadhan. Cumasatu.com mengucapkan selamat datang bulan ramadhan yang penuh berkah bagi setiap muslim yang memanfaatkan bulan ramadhan untuk berlomba-lomba mencari berkah yang dimaksud.
Tuntunan Shalat Tarawih dan Shalat Witir
Syaikh
Nashiruddin Al-Albani telah menjelaskan perincian tentang tata cara
shalat tarawih dalam kitab “Shalat Tarawih” (hal.101-105), kemudian
disini diringkasnya untuk mempermudah pembaca dan sebagai peringatan.
Cara Pertama
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek, 2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’. Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2 rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.
Shalat 13 rakaat yang dibuka dengan 2 rakaat yang ringan atau yang pendek, 2 rakaat itu menurut pendapat yang kuat adalah shalat sunnah ba’diyah Isya’. Atau 2 rakaat yang dikhususkan untuk membuka shalat malam, kemudian 2 rakaat panjang sekali, kemudian 2 rakaat kurang dari itu, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian 2 rakaat kurang dari sebelumnya, kemudian witir 1 kali.
Cara Kedua
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.
Shalat 13 rakaat diaantaranya 8 rakaat salam pada setiap 2 rakaat kemudian melakukan witir 5 rakaat tidak duduk dan salam kecuali pada rakaat kelima.
Cara Ketiga
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.
Shalat 11 rakaat, salam pada setiap 2 rakaat dan witir 1 rakaat.
Cara Keempat
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang tiga rakaat tidak disyariatkan !.
Shalat 11 rakaat, shalat 4 rakaat dengan 1 salam, kemudian 4 rakaat lagi seperti itu kemudian 3 rakaat. Lalu apakah duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat pada yang 4 dan 3 rakaat? Kami belum mendapatkan jawaban yang memuaskan dalam masalah ini. Tapi dudukpada rakaat kedua dari yang tiga rakaat tidak disyariatkan !.
Cara Kelima
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam, kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2 rakaat lagi sambil duduk.
Shalat 11 rakaat diantaranya 8 rakaat, tidak duduk kecuali pada yang kedelapan, (pada yang ke-8 ini –pent) bertsyahud dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam, kemudian berdiri lagi dan tidak salam, kemudian witir 1 rakaat, lalu salam, ini berjumlah 9 rakaat, kemudian shalat 2 rakaat lagi sambil duduk.
Cara Keenam
Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –pent) kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam cara yang telah lau.
Shalat 9 rakaat, 6 rakaat pertama tidak diselingi duduk (tasyahud –pent) kecuali pada rakaat keenam dan bershalawat kepada Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam dan seterusnya sebagaimana tersebut dalam cara yang telah lau.
Inilah tata cara yang
terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi wa sallam secara jelas, dan
dimungkinkan ditambah cara-cara yang lain yaitu dengan dikurangi pada
setaip cara berapa rakaat yang dikehendaki walaupun tinggal 1 rakaat
dalam rangka mengamalkan hadist Rasulullah Shallaalhu ‘alaihi wa sallam
yang telah lalu (“…Barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 5 rakaat,
barangsiapa yang ingin, witirlah dengan 3 rakaat, barang siapa yang
ingin,witirlah dengan 1 rakaat) [Faedah penting : Berkata Ibnu Khuzaimah
dalam “Shahih Ibni Khuzaimah” 2/194, setelah menyebutkan hadist Aisyah
dan yang lainnya pada sebagian cara-cara tersebut, maka dibolehkan
shalat dengan jumlah yang ana dari yang diasukai dari yang telah
diriwayatkan daari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya tida
larangan bagi siapapun padanya, Saya katakan: Ini difahami sangat sesuai
dengan apa yang kita pilih yang konsisten dengan jumlah yang shahih.
Dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menambahinya. Segala
puji bagi Allah atas taufiq-Nya dan aku meminta Nya untuk menambahi
keutamaan-Nya.] [1].
Shalat 5 dan 3
rakaat ini, jika seseorang menghendaki untuk melakukannya dengan 1 kali
duduk (tasyahud –pent) dan satu kali salam sebagaimana pada cara kedua,
boleh. Dan jika ingin, bisa dengan salam pada setiap 2 rakaat seperti
pada cara ketiga dan yang lain dan itu lebih baik[2]. Adapun shalat yang
5 dan 3 rakaat denagn duduk (tasyahud –pent) pada setiap 2 rakaat tanpa
salam, kita tidak mendapatinya terdapat dari Nabi Shallaalhu ‘alaihi
wasallam, pada asalnya boleh, akan tetapi nabi Shallaalhu ‘alaihi wa
sallam ketika melarang untuk 3 rakaat dan memberikan alasannya dengan
sabda beliau “Jangan serupakan dengan shalat mahgrib…” (diriwayatkan
At-Thahawi dan Daruquthni dan selain keduanya lihat “Shalatut Tarawih”
hal 99-110) .
Maka bagi yang ingin shalat witir 3 rakaat hendaknya keluar dari cara penyerupaan terhadap mahgrib dan itu dengan 2 cara :
1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.
2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni pada rakaat kedua –pent).
1. Salam antara rakaat genap dan ganjil itu lebih utama.
2. Tidak duduk (tasyahud –pent) antara genap dan ganjil, (yakni pada rakaat kedua –pent).
(Dinukil
dari terjemahan kitab “Qiyamu Ramadhan”, karya Syaikh Muhammad
Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar
Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 – 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Hal : 60 – 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Diantara
sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, ialah membaca pada rakaat
pertamanya surat Al-A’la dan kedua membaca surat Al Kafirun dan pada
rakaat ketiga membaca surat Al-Ikhlas dan terkadang menambahkan dengan
surat Al-Alaq dan An-Naas. Telah terdapat pula dalam riwayat yang shahih
bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada satu rakaat
witir dengan 100 ayat dari surat An-Nisa’. (Riwayat An-Nasai dan Ahmad
dengan sanad yang shahih).
Doa Qunut witir dan tempatnya
Sesudah
membaca bacaan (surat –pent) sebelum ruku’ terkadang beliau melakukan
qunut dan berdoa dengan doa yang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
ajarkan kepada cucunya Hasan bin Ali, yaitu :
اَللَّهُمَّ
اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ،
وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ،
وَقِنِيْ شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ،
إِنَّهُ لاَ يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، [وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ[،
تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْت.
“Ya
Allah! Berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri
petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak
disukai) sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, sayangilah aku
sebagaimana orang yang telah Engkau sayangi. Berilah berkah apa yang
Engkau berikan kepadaku, jauhkan aku dari kejelekan apa yang Engkau
takdirkan, sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan qadha, dan tidak ada
orang yang memberikan hukuman kepadaMu. Sesungguhnya orang yang Engkau
bela tidak akan terhina, dan orang yang Engkau musuhi tidak akan mulia.
Maha Suci Engkau, wahai Tuhan kami dan Maha Tinggi Engkau.” [HR.
Empat penyusun kitab Sunan, Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim dan Al- Baihaqi.
Sedang doa yang ada di antara dua kurung, menurut riwayat Al-Baihaqi.
Lihat Shahih At-Tirmidzi 1/144, Shahih Ibnu Majah 1/194 dan Irwa’ul
Ghalil, oleh Al- Albani 2/172.]
Kemudian terkadang bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dan
tidak mengapa melakukan qunut setelah ruku’, juga menambah melaknati
orang-orang kafir, dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam serta mendoakan kaum muslimin pada pertengahan kedua dari bulan
ramadhan, karena telah ada yang demikian ini dimasa Umar radhiyallahu
‘anhu, yang telah tersebut pada hadist Abdurrahman bin Abdul Qari’ : Dan
mereka melaknati orang-orang kafir pada pertengahan (ramadhan –pent)” :
“اللهم
قا تل الكفرة الذين يصدون عن سبيلك ويكذبون رسلك, ولا يؤمنون بوعدك, وخالف
بين كلمتهم, وألق في قلوبهم الرعب, وألق عليهم رجزك وعذا بك, يا اله الحق”
“Ya
Allah! Perangilah orang-orang kafir yang menghalangi dari jalan-Mu dan
mendustakan para Rasul-Mu dan tidak beriman dengan janji-Mu. Cerai
beraikan persatuan mereka, lemparkan rasa takut pada hati mereka, dan
lemparkan adzab-Mu atas mereka wahai Illah yang haq.”
Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu mintakan ampun untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai melaknati orang-orang kafir dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan dengan membaca :
Kemudia bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdoa untuk kaum muslimin semampunya dari kebaikan, lalu mintakan ampun untuk mereka. Dia berkata juga “Setelah selesai melaknati orang-orang kafir dan bersholawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka diteruskan dengan membaca :
اَللَّهُمَّ
إيـَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى
وَنَحْفِدُ، نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ
بِالْكَافِرِيْنَ مُلْحَقٌ. اَللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ
وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ، وَلاَ نَكْفُرُكَ،
وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَخْضَعُ لَكَ، وَنَخْلَعُ مَنْ يَكْفُرُكَ.
“Ya
Allah! KepadaMu kami menyembah. UntukMu kami melakukan shalat dan
sujud. KepadaMu kami berusaha dan melayani. Kami mengharapkan rahmatMu,
kami takut pada siksaanMu. Sesungguhnya siksaanMu akan menimpa pada
orang- orang kafir. Ya, Allah! Kami minta pertolongan dan minta ampun
kepadaMu, kami memuji kebaikanMu, kami tidak ingkar kepada-Mu, kami
beriman kepadaMu, kami tunduk padaMu dan berpisah pada orang yang kufur
kepadaMu.” [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, sanadnya menurut
pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211. Syaikh Al-Albani dalam
Irwa’ul Ghalil 2/170 berkata: Sanadnya shahih dan mauquf pada Umar]
Kemudian bertakbir dan menuju sujud. (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam kitab “Shahihnya” (2/155-156/1100)).
Termasuk dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah mengucapkan pada akhir shalat witir sebelum atau sesudah salam :
اَللَّهُمَّ
إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ
عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لاَ أُحْصِيْ ثَنَاءَ عَلَيْكَ
أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ.
“Ya,
Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan kerelaanMu dari kemarahanMu,
dan dengan keselamatanMu dari siksaMu. Aku berlindung kepadaMu dari
ancamanMu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepadaMu,
Engkau adalah sebagaimana yang Engkau sanjungkan kepada diriMu sendiri.”
[HR. Empat peenyusun kitab Sunan dan Imam Ahmad. Lihat Shahih
At-Tirmidzi 3/180 dan Shahih Ibnu Majah 1/194 serta kitab Irwa’ul Ghalil
2/175. [HR. Al-Baihaqi dalam As-Sunanul Kubra, sanadnya menurut
pendapat Al- Baihaqi adalah shahih 2/211. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul
Ghalil 2/170 berkata: Sanadnya shahih dan mauquf pada Umar]
Kemudian jika telah salam dari shalat witir mengucapkan :
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ[رَبِّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوْحِ] (يجهر بها ويمد بها صوته يقول 3 مرات)
Subhaanal
malikil qudduusi (rabbul malaaikati warruh) tiga kali, sedang yang
ketiga, beliau membacanya dengan suara keras dan panjang. [HR. An-Nasai
3/244, Ad-Daruquthni dan beberapa imam hadis yang lain. Sedang kalimat
antara dua tanda kurung adalah tambahan menurut riwayatnya 2/31.
Sanadnya shahih, lihat Zadul Ma’ad yang ditahqiq oleh Syu’aib Al-Arnauth
dan Abdul Qadir Al-Arnauth 1/337.
Dua rakaat setelah witir
Dibolehkan
shalat dua rakaat, karena telah terdapat dalil dari perbuatan Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam (riwayat Muslim dan lain lihat “Shalat
Tarwih”hala:108-109), bahkan beliau memerintahkan umatnya dengan
sabdanya :
“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari kalian telah melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat, jika bangun, jika tidak keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih”nya dan darinya juga yang lainnya. Telah ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu aku Tawaquf (tidak bisa memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang cukup lama, maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu saya tahu bahwa sabdanya : " اجعلوا اخر صلا تكم با ليل وترا “Jadikanlah witir akhir shalat kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja bukan merupakan kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr hal:130 )
“Sungguh safar ini payah dan berat, maka jika salah seorang dari kalian telah melakukan witir, hendaknya rukuk (shalat) dua rakaat, jika bangun, jika tidak keduanya telah memilikinya.” (Riwayat Ibnu Khuzaimah dalam “Shahih”nya dan darinya juga yang lainnya. Telah ditahkrij dalam “Silsilah Shahihah”. Dulu aku Tawaquf (tidak bisa memutuskan pada masalah itu) dalam waktu yang cukup lama, maka tatkala saya dapatkan perintah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia ini cepat-cepat saya mengambilnya dan saat itu saya tahu bahwa sabdanya : " اجعلوا اخر صلا تكم با ليل وترا “Jadikanlah witir akhir shalat kalian dimalam hari” adalah kewajiban pilihan saja bukan merupakan kewajiban dan itu adalah pendapat Ibnu Nashr hal:130 )
Dan
disunnahkan untuk membaca pada kedua rakaatnya surat Al Zilzalah dan
surat Al Kafiruun. (Riwayat Ibnu Khuzaimah (1104,11050 dari hadist
Aisyah dan Anas radhiyallahu ‘anhum dengan dua sanad yang saling
menguatkan)
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
(Dinukil dari terjemahan kitab "Qiyamu Ramadhan", karya Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani, edisi Indonesia “Shalat Tarawih Bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”, Penerjemah : Al-Ustadz Qomar Su’aidi, Bab “Tata Cara Shalat Tarawih”
Hal : 60 - 71, Penerbit “Cahaya Tauhid Press)
Bagaimana Sholat Tarawih Sesuai Sunnah Rasulullah
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
1 Pensyari'atannya
Shalat
tarawih disyari'atkan secara berjama'ah berdasarkan hadits Aisyah
Radhiyallahu 'anha : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada
suatu malam keluar dan shalat di masjid, orang-orang pun ikut shalat
bersamanya, dan mereka memperbincangkan shalat tersebut, hingga
berkumpullah banyak orang, ketika beliau shalat, mereka-pun ikut shalat
bersamanya, mereka meperbincangkan lagi, hingga bertambah banyaklah
penghuni masjid pada malam ketiga, Rasulullah Shallalalhu 'alaihi wa
sallam keluar dan shalat, ketika malam keempat masjid tidak mampu
menampung jama'ah, hingga beliau hanya keluar untuk melakukan shalat
Shubuh. Setelah selesai shalat beliau menghadap manusia dan bersyahadat
kemudian bersabda (yang artinya) : “ Amma ba'du. Sesungguhnya aku
mengetahui perbuatan kalian semalam, namun aku khawatir diwajibkan atas
kalian, sehingga kalian tidak mampu mengamalkannya". Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam wafat dalam keadaan tidak pernah lagi
melakukan shalat tarawih secara berjama'ah" [Hadits Riwayat Bukhari
3/220 dan Muslim 761]
Ketika
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menemui Rabbnya (dalam keadaan
seperti keterangan hadits diatas) maka berarti syari’at ini telah tetap,
maka shalat tarawih berjama’ah disyari’atkan karena kekhawatiran
tersebut sudah hilang dan ‘illat telah hilang (juga). Sesungguhnya
‘illat itu berputar bersama ma’lulnya, adanya atau tidak adanya.
Dan
yang menghidupkan kembali sunnah ini adalah Khulafa’ur Rasyidin Umar
bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dikabarkan yang demikian
oleh Abdurrahman bin Abdin Al-Qoriy[1] beliau berkata : “Aku keluar
bersama Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu suatu malam di bulan
Ramadhan ke masjid, ketika itu manusia berkelompok-kelompok[2] Ada yang
shalat sendirian dan ada yang berjama’ah, maka Umar berkata : “Aku
berpendapat kalau mereka dikumpulkan dalam satu imam, niscaya akan lebih
baik”. Kemudian beliau mengumpulkan mereka dalam satu jama’ah dengan
imam Ubay bin Ka’ab, setelah itu aku keluar bersamanya pada satu malam,
manusia tengah shalat bersama imam mereka, Umar-pun berkata,
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini, orang yang tidur lebih baik dari yang
bangun, ketika itu manusia shalat di awal malam”.[Dikeluarkan Bukhari
4/218 dan tambahannya dalam riwayat Malik 1/114, Abdurrazaq 7733]
Footnote:
[1]
Dengan tanwin (‘abdin) dan (alqoriyyi) dengan bertasydid -tanpa
dimudhofkan- lihat Al-Bab fi Tahdzib 3/6-7 karya Ibnul Atsir.
[2]Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa’ ibil … dan seterusnya
[2]Berkelompok-kelompok tidak ada bentuk tunggalnya, seperti nisa’ ibil … dan seterusnya
2. Jumlah raka’atnya
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka’atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah delapan raka’at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha (yang artinya) : “ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at” [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]
Manusia berbeda pendapat tentang batasan raka’atnya, pendapat yang mencocoki petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah delapan raka’at tanpa witir berdasarkan hadits Aisyah Radhiyallahu ‘anha (yang artinya) : “ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam di bulan Ramadhan atau selainnya lebih dari sebelas raka’at” [Dikeluarkan oleh Bukhari 3/16 dan Muslim 736 Al-Hafidz berkata (Fath 4/54)]
Yang telah mencocoki Aisyah
adalah Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, beliau menyebutkan, “Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghidupkan malam Ramadhan bersama
manusia delapan raka’at kemudian witir [Dikeluarkan oleh Ibnu Hibban
dalam Shahihnya 920, Thabrani dalam As-Shagir halaman 108 dan Ibnu Nasr
(Qiyamul Lail) halaman 90, sanadnya hasan sebagaimana syahidnya.]
Ketika
Umar bin Al-Khaththab menghidupkan sunnah ini beliau mengumpulkan
manusia dengan sebelas raka’at sesuai dengan sunnah shahihah,
sebagaimana yang diriwayatkan ole Malik 1/115 dengan sanad yang shahih
dari jalan Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, ia berkata : “Umar
bin Al-Khaththab menyuruh Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Daari untuk
mengimami manusia dengan sebelas raka’at”. Ia berkata : “Ketika itu imam
membaca dua ratus ayat hingga kami bersandar/bertelekan pada tongkat
karena lamanya berdiri, kami tidak pulang kecuali ketika furu’ fajar”
[Furu' fajar : awalnya, permulaan].
Riwayat beliau ini diselisihi oleh Yazid bin Khashifah, beliau berkata : “Dua puluh raka’at”.
Riwayat
Yazid ini syadz (ganjil/menyelisihi yang lebih shahih), karena Muhammad
bin Yusuf lebih tsiqah dari Yazid bin Khashifah. Riwayat Yazid tidak
bisa dikatakan ziyadah tsiqah kalau kasusnya seperti ini, karena ziyadah
tsiqah itu tidak ada perselisihan, tapi hanya sekedar tambahan ilmu
saja dari riwayat tsiqah yang pertama sebagaimana (yang disebutkan)
dalam Fathul Mughits (1/199), Muhashinul Istilah hal. 185, Al-Kifayah
hal 424-425. Kalaulah seandainya riwayat Yazid tersebut shahih, itu
adalah perbuatan, sedangkan riwayat Muhammad bin Yusuf adalah perkataan,
dan perkataan lebih diutamakan dari perbuatan sebagaiman telah
ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Abdur
Razaq meriwayatkan dalam Al-Mushannaf 7730 dari Daud bin Qais dan
lainnya dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid : “Bahwa Umar
mengumpulkan manusia di bulan Ramadhan, dengan dua puluh satu raka’at,
membaca dua ratus ayat, selesai ketika awal fajar”
Riwayat ini
menyelisihi yang diriwayatkan oleh Malik dari Muhamad bin Yusuf dari
Saib bin Yazid, dhahir sanad Abdur Razaq shahih seluruh rawinya tsiqah.
Sebagian
orang-orang yang berhujjah dengan riwayat ini, mereka menyangka riwayat
Muhammad bin Yusuf mudhtharib, hingga selamatlah pendapat mereka dua
puluh raka’at yang terdapat dalam hadits Yazid bin Khashifah.
Sangkaan
mereka ini tertolak, karena hadits mudhtarib adalah hadits yang
diriwayatkan dari seorang rawi satu kali atau lebih, atau diriwayatkan
oleh dua orang atau lebih dengan lafadz yang berbeda-beda, mirip dan
sama, tapi tidak ada yang bisa menguatkan (mana yang lebih kuat).
[Tadribur Rawi 1/262]
Namun syarat
seperti ini tidak terdapat dalam hadits Muhammad bin Yusuf karena
riwayat Malik lebih kuat dari riwayat Abdur Razaq dari segi hafalan.
Kami ketengahkan hal ini kalau kita anggap sanad Abdur Razaq selamat
dari illat (cacat), akan tetapi kenyataannya tidak demikian (karena
hadits tersebut mempunyai cacat, pent) kita jelaskan sebagai berikut :
1. Yang meriwayatkan Mushannaf dari Abdur Razaq lebih dari seorang, diantaranya adalah Ishaq bin Ibrahim bin Ubbad Ad-Dabari.
2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181]
4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181]
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181]
2. Hadits ini dari riwayat Ad-Dabari dari Abdur Razaq, dia pula yang meriwayatkan Kitabus Shaum [Al-Mushannaf 4/153]
3. Ad-Dabari mendengar dari Abdur Razaq karangan-karangannya ketika berumur tujuh tahun [Mizanul I'tidal 1/181]
4. Ad-Dabari bukan perawi hadits yang dianggap shahih haditsnya, juga bukan seorang yang membidangi ilmu ini [Mizanul I'tidal 1/181]
5. Oleh karena itu dia banyak keliru dalam meriwayatkan dari Abdur Razaq, dia banyak meriwayatkan dari Abdur Razaq hadits-hadits yang mungkar, sebagian ahlul ilmi telah mengumpulkan kesalahan-kesalahan Ad-Dabari dan tashif-tashifnya dalam Mushannaf Abdur Razaq, dalam Mushannaf [Mizanul I'tidal 1/181]
Dari keterangan di
atas maka jelaslah bahwa riwayat ini mungkar, Ad-Dabari dalam
meriwayatkan hadits diselisihi oleh orang yang lebih tsiqah darinya,
yang menentramkan hadits ini kalau kita nyatakan kalau hadits inipun
termasuk tashifnya Ad-Dabari, dia mentashifkan dari sebelas raka’at
(menggantinya menjadi dua puluh satu rakaat), dan engkau telah
mengetahui bahwa dia banyak berbuat tashif [Lihat Tahdzibut Tahdzib 6310
dan Mizanul I'tidal 1/181]
Oleh
karena itu riwayat ini mungkar dan mushahaf (hasil tashif), sehingga
tidak bisa dijadikan hujjah, dan menjadi tetaplah sunnah yang shahih
yang diriwayatkan di dalam Al-Muwatha’ 1/115 dengan sanad Shahih dari
Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid. Perhatikanlah.
[Dan tambahan terperinci mengenai bantahan dari Syubhat ini, maka lihatlah:
a. Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar]
a. Al-Kasyfus Sharih 'an Aghlathis Shabuni fii Shalatit Tarawih oleh Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid
b. Al-Mashabih fii Shalatit Tarawih oleh Imam Suyuthi, dengan ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid, cetakan Dar 'Ammar]
Judul Asli : Shifat
shaum an Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit
Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat
Puasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka
Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal
Akhir 1424 H
Tuntunan Shalat Tarawih dan Shalat Witir
9out of 10 based on 10 ratings. 9 user reviews.
Posted by : Gadis ~ / Software, Blog Tips and Trik, Tutorial , Internet, Bisnis
Artikel Tuntunan Shalat Tarawih dan Shalat Witir diposting oleh Gadis . Terima kasih atas kunjungannya. Kritik dan saran dapat disampaikan via kotak komentar.. Jika diperlukan Artikel ini bisa disebarluaskan melalui blog sobat, hanya mohon sebutkan sumbernya dengan tautan link aktif ke postingan ini. Terima kasih. Happy blogging
0 komentar:
Posting Komentar